Mengenal Barodak, Midodareninya masyarakat Sumbawa
Ketika akan menikah, sebagai keturunan Indo, saya sempat bingung juga menentukan akan menggunakan adat mana untuk menikah. Maklum saja, Papa suku Sumbawa, Mama keturunan Arab Medan, calon suami suku Sunda totok, dan kami akan menikah di Bandung. Loh Indo darimana? Indonesia maksudnya.
Setelah dipilih-pilih mana kostum yang paling cantik, akhirnya diputuskan untuk memilih menggunakan adat nasional saja agar netral. Kecuali untuk satu prosesi malam sebelum akad nikah, diputuskan untuk mengambil adat Sumbawa yang unik. Selain untuk menghormati dan melestarikan adat tradisional suku Sumbawa yang populasinya hanya sekitar 1,9 juta jiwa. Sekaligus juga sebagai ajang mengenalkan budaya itu kepada kerabat di tanah Sunda ini.
Prosesi ini dikenal dengan nama Barodak. Karena dilaksanakan pada malam sebelum pernikahan, Barodak ini sejenis dengan Midodareni-nya suku Jawa atauNgeuyeuk Seureuh-nya suku Sunda.
Barodak sebagai bagian prosesi pernikahan
Walau saya hanya akan menjalani proses Barodaknya saja, ada baiknya kita mengetahui dulu bagaimana prosesi utuh dari pernikahan adat Sumbawa. Di jaman dahulu kala, calon pengantin tidak saling mengenal dan biasanya dijodohkan oleh orang tua. Istilahnya Samulung dalam bahasa Sumbawa.
Prosesi untuk menikah, diawali dengan “Bajajak” atau penjajagan dari pihak pria terhadap si gadis. Pihak laki-laki harus memastikan dulu, apakah si gadis sudah di-Samulung-kan oleh orangtuanya dengan pria lain atau tidak.
Selanjutnya masuk ke prosesi kedua, dimana orangtua si pria akan menemui orangtua si gadis untuk menyampaikan keinginannya menikahkan putranya. Prosesi ini disebut “Olo Leng” untuk mengikat kedua anak mereka agar tidak dijodohkan dengan orang lain. Ini baru tahap pra meminang. Baru setelah ada kesiapan materi (biasanya setelah panen), orang tua pria akan resmi melamar si gadis dalam prosesi “Bakatoan” atau melamar.
Setelah lamaran diterima, diteruskan dengan “Basaputis” atau memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan rencana pernikahan, seperti hari baik, biaya dan lain-lain. Keluarga si gadis biasanya meminta “Mako” yang meliputi “Pipis Belanya” (sejumlah uang), “Isi Peti” (emas perhiasan), “Isi Lemari” (pakaian, alas kaki, dan isi lemari si gadis), “Soan Lemar” (beras, gula, minyak, kayu bakar sampai kerbau atau sapi). Jadi disini terjadi tawar-menawar alot yang bahkan bisa berakibat batalnya rencana pernikahan.
Jika semua sudah sepakat, proses selanjutnya adalah “Bada” atau menyampaikan pemberitahuan dan “Nyorong” atau memberikan antaran yang telah disepakati.
Acara “Nyorong” ini biasanya dilakukan bersamaan dengan “Barodak” di malam sebelum akad nikah.
Kemudian keesokan harinya dilaksanakan “Nikah”, “Rame Mesa” (meramaikan di tempat acara) dan diakhiri dengan “Tokal Basai” atau resepsi.
Prosesi Barodak
Barodak berasal dari kata Odak yang artinya luluran. Sering juga disebut Barodak Rapancar, karena selain luluran, juga dilakukan proses memerahkan kuku tangan dengan daun pacar.
Intinya, ini proses untuk mempercantik diri si calon pengantin. Makna yang lebih dalam adalah untuk penyucian diri bagi calon pengantin untuk memasuki kehidupan rumah tangga.
Baru mempercantik diri malam sebelum pernikahan? Emang keburu?
Jadi Barodak memang resminya dilaksanakan malam sebelum akad nikah di rumah masing-masing mempelai. Sejatinya, Barodak dilaksanakan sejak persiapan pernikahan dilaksanakan dan itu bisa berlangsung sekitar 1 bulan.
3 Tahap Barodak
Menurut Hasanuddin, seorang budayawan Sumbawa yang juga perias pengantin, ada 3 tingkatan barodak, yaitu: Odak Mamak, Odak Babak, dan Odak Ramurin.
Odak Mamak (mangir) yang dipakai pertama kali terbuat dari ramuan sirih pinang, beras dan buah meriga. Fungsinya untuk membersihkan tubuh dari kotoran.
Odak babak (odak pusuk) dipakai pada tahap kedua terbuat dari kulit-kulit kayu pilihan dan pucuk daun tertentu dengan beras sebagai pengikatnya. Fungsinya untuk menghaluskan kulit.
Dan Odak Ramurin sebagai tahap terakhir menggunakan bahan yang dicampur dengan serbuk emas (sejujurnya sih, air rendaman emas) dan kuning telur merpati. Fungsinya sebagai pengencang kulit setelah kotoran dibersihkan dan kulit dihaluskan pada tahap sebelumnya. Nah Odak Ramurin ini yang dijadikan bahan dalam upacara Barodak pada malam sebelum akad nikah. Jadi sebenarnya Malam Barodak hanyalah sekedar finishing touch saja.
Kalau di tanah Jawa kita mengenal istilah siraman bagi calon pengantin, bagi masyarakat Sumbawa dikenal sebagai “Maning/Pani Pangantan” atau mandi pengantin yang juga menjadi prosesi pembuka upacara Barodak. Tidak tanggung-tanggung, ada 3 proses Maning Pangantan.
Pertama Maning Pangantan Jeruk Ayoram yang dilakukan menjelang upacara Barodak. Adalah mandi suci pertama bagai calon pengantin untuk menyucikan jiwa dan raga sebelum memasuki tahapan kehidupan baru. Calon pengantin akan dimandikan dengan perasan jeruk Sumba dan di keramas dengan air merang dan santan kelapa.
Kedua adalah Maning Pangantan Tokal Basai dan Maning Basasopo. Adalah mandi menjelang akad nikah dan setelah akad nikah.
Dan yang ketiga adalah Maning Pangantan Basasuci dan Pongkas Kalamung yang dilakukan setelah malam pengantin. Seluruh proses Maning Pangantan ini dilakukan oleh seorang wanita yang disebut Ina Odak.
Sebelum mandi kembang, calon pengantin dilulur dengan beras yang disangrai hingga hitam seperti kopi dan keramas dengan santan kelapa. Air kembang ditempatkan pada tempat khusus dari batu berukuran besar yang disebut “Teleku batu.” Air kembang terdiri dari kembang kamboja, mayang buak (bakal kembang pinang), daun beringin, pandan dan sapu rancak. Dimasukkan juga sebutir telur mentah dan uang logam. Calon pengantin didudukkan pada alat tenun tradisional yang disebut penesek yang diatasnya ditutupi kain putih. Setelah Maning pengantan selesai, dimulailah upacara Barodak.
Saya sendiri tidak menjalani perawatan Odak tahap 1,2 dan Maning pangantan karena tenaga ahli Barodak yang diimpor langsung dari Sumbawa baru datang hanya beberapa hari sebelum hari H. Sesuai tradisi Islam, Maning Pangantan diganti dengan pengajian.
Nyorong alias seserahan
Pada malam sebelum akad nikah – tepatnya 16 Juni 2006, acara malam Barodak di mulai dengan menyambut kedatangan pihak keluarga calon pengantin pria. Si pengantin prianya tidak ikut hadir malam ini.
Hakikatnya Nyorong ini mengantarkan apa-apa yang sudah diputuskan dalam Basaputis sebelumnya. Versi umumnya seserahan lah. Hanya yang unik, para keluarga calon besan ini tidak boleh langsung masuk rumah calon pengantin wanita. Ada tesnya dulu supaya bisa melewati batas yang ditandai dengan pita. Batas ini namanya “Lawang Rare.”
Syaratnya harus berbalas pantun atau lawas dalam bahasa Sumbawa.
Serius? Iya.
Bagaimana caranya keluarga pengantin pria yang Sunda totok bisa berbahasa Sumbawa? Versi pantun yang notabene semestinya sastra tingkat tinggi lagi.
Dan ternyata mereka memang bisa. Mau tahu rahasianya? Kebetulan ada keluarga dari Sumbawa yang menikah dengan orang Sunda dan sudah bertahun-tahun tinggal di Sumbawa. Jadilah si Om ini yang mewakili keluarga besan untuk berbalas lawas dalam bahasa Sumbawa yang faseh.
Berikut sedikit contoh lawas pihak pria:
Kamu pesan Kami datang (Kalian undang Kami datang)
Lawang mu purat ke barit (Mengapa pintu ditutup)
Ya Mu Ano Ke Nyonde Ta (Panas lah kami semua)
Dan akan dijawab pihak wanita seperti ini:
Malema sempu malema (Mari kerabat marilah)
Sapuan mo le ku tari (Sudah lama kami menunggu)
Tutu lampa kal leng tutu (Benar juga kata terucap)
Setelah saling berbalas lawas, akhirnya pintu dibukakan dengan ditandai dengan pengguntingan pita. Kemudian seserahan diserahkan dan dimulailah acara inti Barodak yang diutamakan untuk disaksikan para wanita.
Calon pengantin dirias dengan adat sumbawa dan didudukkan pada sebuah panggung kecil beratap bernama Cinroang. Calon pengantin duduk diatas tikar khusus yang disebut samparumpuk yang dilapisi dengan 7 lembar kain berwarna-warni. Tikar dan kain ini dipercaya dapat menangkal niat jahat.
Acara dimulai dengan Ina Odak menyalakan lilin/dila sebagai simbol dari harapan adanya cahaya terang yang akan menyinari perjalanan perkawinan. Selama proses ini berlangsung, musik tradisional Sumbawa yang terdiri dari Ratib dan Gong Genang ikut mengiringi jalannya ritual.
Ina odak lalu menyuruh calon mempelai wanita untuk memasukan cincin khusus ke mulutnya menggunakan sendok makan yang telah ditaburi gula pasir. Baru setelah itu Ina Odak meluluri calon pengantin, dimulai dari wajah hingga tangan.
Beberapa undangan yang dianggap tetua dan patut memberi teladan diminta untuk memberikan odak dengan mengoleskan lulur pada wajah dan tangan calon pengantin. Dalam acara Barodak saya, ada 9 orang yang ikut memberi Odak. Termasuk juga calon ibu mertua. Lucunya, banyak juga para tetua yang memang bukan orang Sumbawa ini yang agak kagok mengoleskan luluran di wajah saya yang sudah cantik. Khawatir merusak riasan sepertinya. Halah…
Sebelum ritual berakhir, Ina Odak akan memastikan lulur telah merata pada wajah dan tangan calon pengantin. Kemudian ia memercikkan air kembang dan memutar lilin melingkari kepala calon pengantin. Ini menjadi simbol menolak hal-hal yang membahayakan si pengantin selama menjalankan kehidupan berumah tangga. Baru setelah itu lilin ditiupkan di depan wajah dan asapnya ditempelkan pada kepala si calon pengantin.
Katanya sih kalau di Sumbawa, jika kedua pengantin masih memiliki hubungan kerabat, Barodak dilaksanakan bersama dirumah pengantin perempuan. Namun jika tidak, barodak dilakukan dirumah masing-masing. Alasannya karena masing-masing keluarga punya cara dan bahan odak yang berbeda dan juga karena alasan tidak boleh bertemu sebelumnya.
Bagaimana dengan saya yang calon suaminya orang Sunda? Ya dia diam saja di rumah. Ngakunya sih sambil nonton bola sendirian. Ceritanya kan nggak boleh bertemu dulu sampai besok akad nikah. Padahal seluruh keluarganya berada di tempat saya untuk menyerahkan seserahan dan menghadiri Barodak.
Bahan Odak
Bahan odak ternyata memiliki filosofi tertentu yang menarik untuk disimak. Bahan dasar lulur adalah daun sirih yang disebut eta. Bukan sembarang sirih, tapi sirih yang urat-uratnya bertemu pada satu titik. Jadi salah satu urat sirih bagian kiri sebagai simbol perempuan akan bertemu dengan urat bagian kanan sebagai simbol laki-laki. Dua titik tersebut akan bertemu pula dengan urat daun sirih yang membelah sirih tersebut menjadi dua sebagai simbol masyarakat sosial. Filosofinya adalah ketiga garis dari urat daun sirih tersebut akan saling bertemu dan membentuk satu titik. Artinya bahwa pernikahan tersebut diterima oleh kedua pihak dan juga masyarakat di mana tempat mereka akan menjalankan kehidupan berumahtangganya. Harapannya kehidupan mereka akan bahagia, damai dan sejahtera.
Ada pula buah pinang, yang merupakan simbol hati yang jika dibelah rupanya akan
persis sama. Ini mengandung makna yang menggambarkan pertautan hati kedua
mempelai yang utuh dan sama.
persis sama. Ini mengandung makna yang menggambarkan pertautan hati kedua
mempelai yang utuh dan sama.
Ada juga bagik atau asam yang berwarna hitam pekat. Asam jawa ini banyak digunakan masyarakat Sumbawa untuk membersihkan kotoran sebagai bahan lulur. Harapannya, agar perempuan yang akan menjadi istri ini nantinya, memiliki hati yang bersih tak punya hasrat dengki pada orang lain.
Ada pula beras yang selalu ada dalam tiap ramuan odak, sebagai simbol kemakmuran
dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan.
dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan.
Benar-benar sebuah tradisi yang sarat makna dan perlu kita lestarikan. Bangga rasanya saya dapat kesempatan untuk menjalaninya. Terima kasih tak terhingga untuk para keluarga yang ikhlas mengimpor budaya indah ini ke Bandung 9 tahun yang lalu.
selamat membaca ... !!!!
0 komentar:
Posting Komentar